Pancasila dan Politik Harapan

Pada malam menjelang 1 Juni 1945, Soekarno keluar dari rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, dan menengadahkan wajahnya ke langit. Malam itu ribuan bintang bertebaran di langit dan proklamator Indonesia itu tiba-tiba merasa dirinya adalah sosok kecil yang dhaif. Pada kesempatan itulah, Soekarno merasa pundaknya dibebani pertanggungjawaban yang amat berat, terutama karena esok harinya ia mesti berpidato soal dasar negara Indonesia.
Malam itu, dengan segenap kerendahan budi, Soekarno meminta petunjuk pada Tuhan tentang ihwal apa yang mesti disampaikannya esok di hadapan anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah doa itu, Soekarno merasa mendapat petunjuk atau ilham yang menyuruhnya menggali dasar negara itu dari bumi Indonesia sendiri. Kelak, pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 itu akan tenar sebagai Hari Lahir Pancasila.
Bagi Yudi Latif, kisah Soekarno punya kesan tersendiri. Di hadapan ratusan peserta bedah buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Gramedia Pustaa Utama, 2011) di Gedung Nusantara V MPR, Jakarta Pusat, 11 April lalu, Yudi menyampaikan kisah itu kembali sebagai pengingat: bahwa dasar negara Indonesia lahir dari upaya penggalian terhadap kearifan bangsa ini di zaman lampau. Oleh karena itu, jika sekarang bangsa Indonesia mengalami krisis yang luas dan dalam, maka kita mesti berpaling ke dasar falsafah dan pandangan hidup bangsa kita sendiri.


Solusi atas krisis yang dialami Indonesia, kata Yudi, tidak bisa dicari dari luar. Mengutip keberhasilan Eropa dan Jepang, Yudi Latif punya keyakinan bahwa Indonesia hanya bisa bergerak maju setelah bangsa ini mampu mengenali dirinya sendiri. Eropa bisa maju setelah zaman Rennaisance, yakni penggalian kembali kebudayaan Yunani dan Romawi yang menjadi akar peradaban bangsa itu. Sementara, Jepang bisa maju sesudah masa Restorasi Meiji, sebuah masa pembaharuan yang tak meninggalkan akar kepribadian bangsa Jepang.
Oleh karenanya, solusi atas persoalan Indonesia hanya bisa muncul dengan melakukan penggalian kembali serta rekonstruksi terhadap alam pemikiran Pancasila, dasar negara yang punya akar panjang dalam tradisi bangsa Indonesia. Negara Paripurna adalah upaya intelektual Yudi untuk mewujudkan penggalian dan rekonstruksi tersebut. Pemikiran semacam ini, tentu saja, bukan hal baru di Indonesia masa sekarang. Seruan atau jargon kembali pada Pancasila dan UUD 1945 adalah sesuatu yang terus saja terdengar tapi tak pernah punya gema berkepanjangan.
Tapi, Yudi Latif adalah intelektual yang bukan hanya mengumbar seruan dan slogan. Dia melakukan upaya panjang selama dua tahun untuk menyusun sebuah buku setebal 667 halaman yang secara panjang, lebar, dan dalam, menyoroti Pancasila. Yudi menggali bahan-bahan primer mengenai pendapat dan gagasan para pendiri bangsa Indonesia melalui salinan dokumen-dokumen BPUPKI. Melalui dokumen itulah, perdebatan dan gagasan awal para pendiri Indonesia perihal Pancasila tampak secara gamblang.
Namun, Yudi tidak berhenti pada penggalian. Ia melanjutkan upayanya ke proses rekonstruksi. Upaya rekonstruksi ini menyoroti Pancasila dari sisi historisitas, rasionalitas, dan aktualitas. Yudi mengupas satu demi satu sila dalam Pancasila, untuk kemudian dibahas dari tiga aspek besar tersebut. Historisitas menyoroti aspek kesejarahan, bagaimana sebuah ide bisa timbul dan perdebatan dimulai. Aspek rasionalitas adalah upaya Yudi menyoroti ide dan gagasan para pendiri Indonesia secara teoretis dan komparatif melalui perbandingan dengan pemikiran lain. Sementara, aspek aktualitas adalah upaya Yudi menegosiasikan alam pikiran Pancasila dengan kondisi kekinian.
Yudi menegaskan, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun yang dinamis, yang mengarahkan bangsa Indonesia mencapai tujuannya. Sebagai alat pemersatu, Pancasila bersifat statis karena faktanya bangsa Indonesia bisa bersatu hanya dengan bersandar pada nilai-nilai Pancasila yang sangat akomodatif. Di sinilah, mungkin, Yudi menemukan frasa “negara paripurna”, yang bisa jadi dimaksudkannya sebagai penegas bahwa Pancasila sudah final sebagai falsafah Indonesia.
Tapi, keparipurnaan Pancasila sebagai falsafah negara bukanlah berarti lima sila itu adalah sesuatu yang beku dan baku. Seperti sudah ditegaskan di awal, Pancasila bersifat statis sebagai pemersatu, tapi  sekaligus punya peran sebagai bintang penuntun yang dinamis. Sebagai penuntun, Pancasila mau tak mau harus dinamis karena ideologi tersebut harus berhadapan dengan tuntutan dan kenyataan zaman. Pada titik ini, nilai-nilai Pancasila harus terus diaktualisasikan dan didialogkan dengan problem dan kenyataan Indonesia kiwari.
Negara Paripurna menyajikan sebuah konklusi menarik, bahwa warisan terbaik para pendiri Indonesia adalah “politik harapan”, bukan “politik ketakutan”. “Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa semangat perjuangan memiliki kemampuan yang tidak terbatas untuk menghadapi pelbagai rintangan,” kata Yudi. Masalahnya, yang harus di cari di masa sekarang adalah “semangat perjuangan” itu sendiri, sebuah pra syarat bagi tumbuhnya “politik harapan”.

** Semoga Bermanfaat & Maju Terus Indonesia Ku **


Newer Post Older Post

Leave a Reply

Jika Ada Masukan , Tangapan , Koreksi Silahkan Tinggalkan Komentar di Bawah Ini ...
Terimakasih dan Mari Sama-sama Belajar
FOLLOW ME Terimakasih Dan Salam Kenal

Note: only a member of this blog may post a comment.